Salah satu cara favoritku buat 'pameran' dan masih kujalani dengan pola  yang hampir sama sampai sekarang adalah ke Panti Pijat (PP). Tetapi  sebelumnya, jangan membayangkan seperti yang sering orang bilang, yaitu  tempat terselubung buat begituan. Terus terang aku tidak perlu yang  begituannya, walaupun ditawari. Aku juga tidak pernah cari yang di  daerah Kota, terlalu vulgar/langsung (tahu sendirilah bagaimana di  daerah Kota itu). Selalu yang kutuju itu daerah pinggiran seperti Pasar  Minggu, Depok, Kebayoran Lama, Cempaka Putih, dan lain-lain. Umumnya  yang pasang nama Urut Pengobatan Tradisional, tetap ada sih yang  begitunya, tapi masih tidak terlalu to-the-point seperti di daerah Kota,  sudah tidak seru lagi kalau begitu. 
Enaknya, pemijatnya
 yang masih polos atau malu-malu. Kenapa aku senang  ke panti pijat..? Selain badan jadi enak (karena dipijat betulan), juga  terutama bebas berbugil ria tanpa khawatir resiko apa-apa. Ini dia  intinya. 
Salah satunya yang terbaik adalah waktu aku pijat di daerah Lenteng  Agung. Aku datang sekitar jam 14.00. Suasananya sepi (memang sengaja).  Terus aku ke meja pendaftaran tamunya, yang jaga ibu-ibu. 
"Mau pijat Mas..?" 
"Iya," jawabku singkat. 
Dia langsung mengajak masuk ke dalam untuk menunjukkan kamar, dan aku disuruh menunggu sebentar. Dia memanggil pemijatnya. 
Rupanya panti pijat ini lumayan sopan, tidak menunjukkan album yang  berisi foto pemijatnya untuk dipilih. Kalaupun disuruh memilih foto  dulu, aku akan pilih yang wajahnya masih polos/biasa-biasa saja,  syukur-syukur kalau lumayan manis. Paling tidak mau deh yang wajahnya  sexy/merangsang atau berpengalaman, yang body-nya aduhai. Biasanya yang  model begini mijatnya asal-asalan, tidak karuan, maunya cepat saja  ditawar, terus selesai. Apa-apaan nih, tidak seru. Bukan itu atau body  yang kucari. 
Tidak lama kemudian pemijatnya datang, cewek berumur sekitar 20 tahunan.  Body dan wajahnya biasa-biasa saja tapi bolehlah, lumayan. Untung bukan  model germo yang datang. 
"Selamat siang, pijat ya Mas..?" 
"Iya," jawabku lagi-lagi singkat. 
"Bajunya belum dibuka.." katanya. 
Aku segera membuka baju dan celana panjang, tinggal pakai celana dalam  saja. Dan aku langsung rebahan telungkup. Dia mulai memijat dari telapak  kaki terus ke paha. Enak juga mijatnya, cuma agak kekerasan. Waktu  kubilang, dia mengurangi tekanannya. Selanjutnya dia menawari mau pakai  cream atau tidak. Aku setuju (sesuai skenario sih). Setelah mengolesi  cream, dia mengulang pijatan dari kaki, naik ke betis dan ke paha.  Sampai tahap ini, kulancarkan manuver berikutnya. 
"Wah, celananya ntar kena cream nggak Mbak..?" 
"Oh, kalo gitu bisa dibuka aja, nggak apa-apa.." 
Ternyata, tahap kedua berjalan mulus. Sambil tetap telungkup, kuturunkan  celana dalam pelan-pelan, terus dia membantu menarik sampai lepas di  kaki. Aku sengaja melakukannya dengan proses yang pelan-pelan, tidak  langsung ditunjukkan secara frontal, belum saatnya. Sambil dia bantu  menurunkan tadi, kuatur posisi anuku (si otong) mengarah ke  bawah/belakang. Jadi kalau dilihat dari arah belakang (posisi telungkup  dan kaki mengangkang), di pangkal paha akan kelihatan bijiku, terus ada  yang menyembul sedikit di bawahnya (ya kepala/topi baja si otong!).  Dengan posisi ini, pasti waktu dia mijat sekitar paha akan  menyenggol-nyenggol (he.. he.. he.., canggih ya skenarionya). 
Aduh, udah mulai ser-seran hatiku. Soalnya walaupun baru sedikit, dia  sudah mulai melihat barangku. Benar juga, waktu dia pijat sekitar paha  dalam, biji dan si otong tersentuh tangannya. Kontan si otong bangun  terjaga dari lelapnya. Gimanaa gitu rasanya, apalagi membayangkan dia  pasti lihat dari belakang si otong sudah bangun memanjang. Pijatan naik  ke pantat. Pantatku dipijat pelan-pelan, diputar-putar, diremas-remas.  Wah, si otong makin kaku saja. Agak-agak sakit sih karena posisinya  ketindihan badan, tapi mantap. 
Sewaktu pijatan naik lagi ke pinggang, punggung dan leher, rangsangan  menurun, dan otomatis si otong mengendor. Tidak apa-apalah istirahat  dulu buat ronde selanjutnya yang lebih menegangkan dan full action.  Disini aku menikmati juga pijatan seriusnya. 
"Balik Mas..!" katanya perlahan. 
Nah, ini dia awal ronde kedua yang kutunggu-tunggu. Dengan semangat '45,  aku berbalik. Jreeng.., aku telentang dan telanjang bulat di depan  seorang cewek. Si otong melambai-lambai karena gerakan berbalik tadi.  Meskipun sudah sering mengalami ini, aku tetap berdebar-debar. Badanku  bergetar waktu merasa sekujur badanku terutama si otong disapu pandangan  mata seorang cewek, istilah kerennya di-'scan'. Si otong terasa panas.  Berbeda dengan posisi tengkurap dengan kaki mengangkang, waktu telentang  kedua kakiku dirapatkan. Teorinya, kedua pahaku rapat mengapit biji dan  si otong. So, waktu dia memijat paha, otomatis ya.., itu benar,  menyentuh lagi, oke nggak tuh. 
Dia mulai memijat dari arah kaki lagi. Aku pura-pura ketiduran, tapi  mata tidak dimeramkan benar, masih dapat mengintip sedikit. Nikmat  rasanya melihat doi yang menganggap aku ketiduran, sekali-sekali melirik  si otong yang sedang terangguk-angguk. Bulu kemaluanku merinding  rasanya. Pijatan naik ke lutut, terus ke paha. Rangsangan mulai terasa,  si otong kena imbasnya, perlahan-lahan menggelembung. Waktu sampai di  paha atas, bijiku kegeser-geser lembut tangannya (lagi-lagi sesuai  'GBHN'). 
Sampai disini si otong sementara tidak kesenggol, karena sudah menjulang  dengan gagahnya seperti monas. Bedanya monas, yang atasnya emas,  sedangkan si otong puncaknya topi baja. Apalagi waktu dia membuka kedua  pahaku yang dikangkangkan untuk memijat pangkal paha terus naik memutari  si otong di kiri-kanannya ke arah perut di bawah pusar. Buat cewek  kalau tidak salah namanya daerah bukit Venus ya? 
Gerakan memutar ini mengakibatkan si otong yang walaupun sudah berdiri  bebas, tergeser tangannya. Alamak.., selanjutnya dia memijat-mijat,  menekan-nekan di daerah bulu kemaluan ke arah pusar. Kemudian ditarik  lagi ke bawah memutar ke selangkangan, terus ke bawah biji.  Dipijat-pijat dan ditekan-tekan lagi disitu. Diperparah dengan tarikan  ke atas ke kantong biji melalui tengah-tengah antara dua biji dan  berakhir di pangkal si otong dan disitu ditekan seperti akupunktur. 
Disini aku udah megap-megap, tidak dapat mengeluarkan suara, nafas saja  susah. Kepalaku mau pecah rasanya kena rangsangan seperti ini. Si otong  rasanya bergetar saking keras dan kakunya, seperti berubah jadi besi.  Mungkin kalau disentil akan berbunyi tingg.. 
"Udah selesai Mas, ada yang masih kurang..?" katanya menarik kembaliku ke bumi dari suasana melayang-layang. 
Nada dan ekspresi wajahnya biasa-biasa saja seperti tidak terjadi  apa-apa, padahal aku sudah sedemikian heboh rasanya. Aku agak bengong  sebentar karena proses mendarat belum sempurna. 
"Eeh iya.. iya.." kataku tergagap karena kepala atas dan terutama yang  bawah masih nyut-nyutan, "Mmm.., boleh minta tissue Mbak..?" 
"Boleh.., nih..!" katanya manis, "Emangnya buat apa sih..?" 
"Ngg.. anu.. kepala saya pusing banget, harus 'dikeluarin' dulu.." jawabku tidak kalah polosnya. Pembalasan. 
"Dikeluarin? Oh.. Mas maksudnya mau 'main'..?" tanyanya, lagi-lagi dengan nada datar. 
"Nggak, saya biasa dikeluarin sendiri." 
"Memangnya bisa dikeluarin sendiri..? Caranya..?" disini dia mulai antusias. 
Waduh, tidak mengerti ngocok/onani/masturbasi ini cewek. 
"Ya bisalah, dikocok-kocok kayak gini, ntar juga keluar." jawabku sambil  mulai melingkarkan jari-jari tangan kiri menggenggam si otong, kemudian  membuat gerakan mengocok lembut ke atas ke kepala dan ke bawah ke  pangkalnya. 
"Emangnya enak..?" perhatiannya semakin meninggi, begitu juga spaning-ku karena dialog ini. 
"Uenak buanget.. kalo nggak enak mana mau saya ngocok kayak makan obat  tiga kali sehari, tiap hari." jawabku sejujurnya sambil mengatur nafas. 
Terus obrolan kulanjutkan sambil terus mengocok perlahan-lahan menikmati  tatapan matanya yang terfokus pada tanganku yang bergerak naik turun  menyusuri batang si otong. 
"Emangnya kamu nggak pernah? Cewek kan sama aja, bisa juga main sendiri." 
"Ih, nggak pernah tuh, caranya juga nggak tau. Pernah denger sih, tapi  nggak jelas," jawabnya tanpa melepaskan matanya dari si otong yang  sedang kupijat dengan mesranya. 
"Kalo soal caranya, macem-macem, biasanya pake tangan sendiri  dielus-elus, terus jarinya dimasukin dikocok-kocok, ada juga yang pake  alat dari plastik yang bentuknya kayak barang cowok, ini lebih nikmat.  Atau yang paling gampang, enak dan murah pake timun, atau terong yang  pas bener bentuknya." 
Sudah kayak pakar seksologi saja nih aku. Dia hanya tertawa kecil sambil  menutup mulutnya dengan tangan. Setelah itu dia diam, tapi berdiri  semakin mendekat persis di sampingku dengan mata yang tidak berkedip. 
Uuuh, luar biasa sensasinya. Bayangin, aku masturbasi dengan ditonton  penuh perhatian oleh seorang cewek! Ini puncak atau level tertinggi  kenikmatan bagi seorang exhibionist sepertiku. Kalau ketelanjangan kita  dilihat orang itu sudah nikmat, apalagi masturbasi. Karena masturbasi  adalah kegiatan paling rahasia dari seseorang. Dilihat lawan jenis dan  penuh perhatian lagi. Sampai gemetar tanganku yang lagi mengocok si  otong. 
Tanpa saling bersuara, aku terus mengocok di bawah tatapan matanya.  Tangan kananku mengusap-usap biji. Makin lama kocokan semakin kupercepat  dan terus dipercepat. Nafasku semakin memburu. Matanya semakin membulat  menatap gerakan tanganku, sementara kebalikannya aku menatap tanpa  berkedip ke wajahnya menikmati ekspresinya yang antusias, heran, pengen  tahu dan sebagainya campur aduk. 
Akhirnya aku merasa puncakku hampir sampai, gunung berapi dalam  genggamanku mau meletus memuntahkan kenikmatan. Aku memiringkan badan  menyesuaikan posisi kepala si otong supaya muntah tepat di tissue yang  kuletakkan di kasur. 
"Udah mau keluar ya Mas..?" tanyanya, tapi aku sudah tidak dapat mengeluarkan suara. 
Tanpa menunggu jawaban, eh.. dia malah berjongkok persis di samping  tissue. Mungkin ingin melihat lebih dekat dan jelas saat-saat bersejarah  baginya yang sebentar lagi akan terjadi. Melihat ini aku semakin parah  rasanya. Tanpa tertahan lagi, dengan kocokan kecepatan supersonik dan  pandangan sekitar yang mengabur karena mataku semakin terfokus hanya  kepada wajah dan ekspresinya, si otong meledak sangat dahsyat  memuntahkan kenikmatan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. 
Sentakan ledakan yang terjadi membuat seluruh tulang-tulang serasa  tercabut, jantung sudah tidak tahu masih ada apa sudah ikut meledak.  Ledakkan pertama ini saja sudah memuntahkan cairan kenikmatan dalam  jumlah banyak. Setelah itu masih diikuti ledakan-ledakan selanjutnya  yang membuat cairan kenikmatanku tidak tertampung di tissue dan meluber  ke kasur. Badanku masih mengejut-ngejut dan tersentak-sentak. Sepertinya  aku kehilangan kesadaran sebentar karena kenikmatan yang belum pernah  terasa sesempurna ini. Rupanya efek melayangnya cukup panjang, walaupun  si otong sudah selesai dan kenyang memuntahkan kandungannya. 
Perlahan-lahan kesadaranku mulai kembali, mata kubuka. Pertama-tama yang  kulihat si cewek itu. Kelihatannya dia sedang mengelap lengannya dengan  tissue. 
"Ih, si Mas keluarnya sampe keciprat ke tangan saya." 
Aku hanya dapat tersenyum, "Maapin deh, kan lagi nggak kontrol tadi." (Untung tidak ketembak mulutnya). 
"Lagian keluarnya bisa banyak gitu, apa memang selalu segitu kalo keluar Mas?" 
"Ya nggaklah, tergantung situasi aja." jawabku lemas sekali, mau menggerakkan tangan saja berat rasanya. 
Selanjutnya dia dengan hati-hati mengangkat tissue basah kuyup dan luber cairan putih itu dari kasur dengan kantung plastik. 
"Tuh kan si Mas, musti ganti kasur deh saya. Banyak banget sih  keluarnya, orang yang begituan beneran aja nggak segitu banyaknya," 
Lagi-lagi aku hanya dapat tersenyum. 
"Mau mandi atau dilap air anget aja Mas?" tanyanya. 
"Dilap aja deh, udah nggak kuat berdiri nih.." 
Sambil mengelap badan, dia mulai bicara lagi, "Ternyata bisa ya Mas dikeluarin sendiri.." 
"Kan udah lihat sendiri buktinya. Eh kamu sendiri gimana, ada minat nyoba main sendiri, enak lho nggak tergantung orang lain." 
"Au ah..," katanya sambil tertawa cekikikan, tidak jelas maksudnya. 
Waktu sampai giliran si otong yang di lap, dia melingkarkan lap  hangatnya membalut si otong sambil diremas-remas, "Hih, kamu ini  muntahnya habis-habisan yah..!" 
Karena dibungkus lap hangat dan diremas-remas, si otong mendadak bengkak  dan memanjang lagi sampai menonjol keluar topi bajanya dari lipatan  lap. 
"Yah, bangun lagi sih.." katanya heran. 
"Kamu juga sih ngajak ngobrol dia, ya dia nyautin.." 
"Terus gimana nih..?" 
"Apanya yang gimana?" aku balik bertanya. 
"Iyaa, apa musti dikeluarin lagi?" 
Mendengar ini semangatku bangkit lagi, lupa sama badan yang sudah segitu lemasnya tadi. 
"Tergantung, kalo waktunya masih ada dan belum diusir" kujawab sambil berharap-harap cemas. 
"Terserah deh, kalo mau dikeluarin lagi silakan. Tapi jangan di tissue lagi.. dimana ya..?" katanya sambil mencari-cari. 
Tanpa membuang waktu, aku sudah mulai mengocok lagi, tapi sekarang  posisinya duduk di pinggir tempat tidur. Lucu juga membayangkannya, aku  telanjang bulat mengocok di pinggir tempat tidur, sementara ada seorang  cewek berpakaian lengkap yang lagi sibuk cari tempat buat menampung  cairan hasil kocokanku. 
"Nah disini aja deh langsung..," katanya sambil mengambil tempat sampah  dari kolong meja, dan meletakkan di lantai tepat di bawah si otong yang  sedang kukocok. 
Selanjutnya dia berdiri memperhatikan kegiatanku. Lagi-lagi caranya  melihat dan memperhatikan membuatku merinding sampai ke ujung bulu  kemaluanku dan terangsang hebat. 
"Eh, nanti malah berceceran di lantai.." katanya sambil mengangkat  tempat sampah itu dan memegangnya persis di depan mulut si otong yang  lagi megap-megap karena kukocok secepat kilat. 
Pemandangan dia menampung ini efeknya sangat fantastis buatku. Badanku  tergetar hebat. Mendadak gelombang kenikmatan itu datang  bergulung-gulung, turun dari otakku terus ke bawah, dan akhirnya meledak  di mulut si otong. Sekilas aku mendengar suara cipratan yang berkecipak  ketika cairan yang diledakkan dan meluncur dengan kecepatan tinggi dari  mulut si otong mengenai dasar tempat sampah plastik yang dipegang cewek  itu. Setelah itu si otong masih mengejut-ngejut beberapa kali  melepaskan tembakan susulan, walaupun tidak sebanyak ejakulasi pertama. 
Habis badanku rasanya. Cewek itu hanya geleng-geleng kepala sambil meletakkan tempat sampah kembali ke kolong meja. 
"Gile bener..," hanya itu komentarnya. 
Sambil menungguku pakai baju, cewek itu bertanya lagi, "Yang kedua ini keluarnya lebih cepet ya Mas..?" 
"Yah soal itu sih susah ditentuinnya, nggak bisa dipasti-pastiin bener," jawabku sekenanya. 
Padahal sebenarnya yang pertama itu harusnya lebih cepat, soalnya  rangsangannya kan lebih besar. Tapi karena ingin pameran dan memberikan  pertunjukan yang terbaik untuk penonton tunggal ini, ya kuatur-atur deh.  
"Terus kalo main betulan sama cewek emangnya si Mas nggak suka atau gimana sih..?" 
Waduh, pertanyaannya semakin berat, untung kamar sebelah tidak ada tamunya. 
"Yah yang jelas sampai sekarang saya lebih suka ngocok sendiri. Buktinya  saya nggak ngapa-ngapain kamu kan..? Biar kamu telanjang bulat, saya  nggak akan bahaya buat kamu, paling-paling saya ngocok lagi, he.. he..  he.." 
"Nggak pegel ngocok tiap hari..?" 
Astaga, pertanyaannya membuatku jadi bingung juga. 
"Lha enak kok.., nggak ngerepotin lagi.." 
Setelah membereskan masalah administratif, aku keluar dan pergi. Sampai  saat ini aku masih belum memutuskan, apakah akan kembali lagi ke tempat  itu atau tidak. Soalnya dari pengalaman yang sudah-sudah, pertemuan yang  kedua kalinya sudah tidak ada sensasinya lagi. Sensasi itu selalu  timbul dari orang yang belum pernah dijumpai/baru. Kalau orangnya yang  itu-itu juga, dia sudah tahu kebiasaan kita, mau ngapain selanjutnya dan  lain-lain. Tidak seru. 
TAMAT 
 
Tidak ada komentar:
Posting Komentar